Selasa, Februari 19, 2008

Akhlak Yang Mulia

Oleh : Prof. Dr. Ahmad Tafsir, MA

Allah Swt. berfirman di dalam al-Quran : "Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam". (Q.S. al-Anbiyaa' : 107). Maksud dari ayat ini adalah kedatangan Muhammad yang membawa agama Islam kepada kita mestinya menjadi rahmat bagi seluruh alam. Ada Orang yang lebih pintar dari saya mengatakan bahwa seluruh alam maknanya seluruh manusia. Jadi kedatangan agama Islam itu harus menjadi rahmat bagi seluruh manusia.Tidak hanya bagi umat muslim saja, bagi penjahat, bahkan bagi orang-orang kafir. Disinilah yang perlu kita perhatikan baik-baik.

Beberapa arti rahmat diantaranya : anugerah, faedah, manfaat, guna. Sehingga sampailah kita pada kesimpulan bahwa agama Islam diturunkan oleh Allah kepada kita karena ada manfaatnya, tidak menyusahkan malah sebaliknya memudahkan (mengenakkan) kita. Persoalan selanjutnya adalah bagaimana orang-orang kafir, pencuri atau orang yang kecurian mendapat guna juga dari Islam. Sebagai contoh orang yang kecurian diharuskan sabar oleh Islam dalam hal ini. Dalam Islam itu kita mengenal Rukun Islam yang terdiri dari membaca dua kalimah syahadat, menunaikan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa dan menunaikan ibadah haji. Jika kita membaca syahadat apakah orang lain mendapatkan manfaatnya atau berguna baginya. Jawabannya "tidak", berarti ayat di atas belum terbukti. Kemudian setiap hari kita shalat, apakah yang didapatkan orang lain dari shalat itu. "Pahala" hanya untuk kita yang melaksanakannya, "tidak" untuk orang lain. Zakat ada manfaatnya, tapi "tidak" untuk orang kafir, apalagi puasa, kita merasakan lapar sementara orang lain tidak mendapatkan apapun. Dan yang terakhir adalah haji, sama juga. Paling-paling oleh-oleh. Itupun hanya untuk orang-orang tertentu saja.

Makanya, banyak yang "tidak senang" kepada Islam karena tidak ada gunanya, menurut sedikit uraian saya tadi. Tapi kita tidak berhenti sampai disini karena Islam itu harus berguna bagi siapa saja menurut surat al-Anbiyaa' : 107 di atas. Islam seharusnya mulia (bersinar) tetapi malah sebaliknya terkutuk akibat "ulah" orang-orang tertentu seperti "Teroris". (begitu orang Barat menyebutnya). Karena itu kita kembali lagi kepada pembahasan di atas bahwa, buah dari pelaksanaan "5 Rukun Islam" ditambah dengan yang lainnya adalah akhlakul karimah. Akhlakul karimah inilah yang mampu memberikan manfaat, memberikan guna atau memberikan faedah untuk semua orang. Sebagai contoh, jika di sebuah kampung yang penduduknya berakhlak baik meskipun orang-orangnya lupa menutup kunci pintu tapi mereka merasa aman karena tidak ada barang yang kehilangan atau dicuri. Tetapi jika sebaliknya (akhlak mereka jelek) maka akan membuat sulit, susah, bahkan kerugian bagi orang lain.

Islam sebagai rahmat dan Akhlakul karimah ini ibarat pohon dengan buahnya. Kalau kita ambil bagian dari pohon tersebut misalkan akarnya, maka pohon itu akan mati. Berbeda jika kita mengambil buahnya, maka pohon tersebut akan tetap berbuah dan bermanfaat terus bagi orang lain. Akhlakul karimah itulah buah dari pengamalan Islam yang benar. Dengan akhlakul karimah ini jangan sampai kita "bertengkar" hanya karena perbedaan dalam masalah ibadah (khilafiyah) misalkan shalatnya tidak memakai "Usholli". Akhlak yang mulia inilah yang akan menentramkan dunia. Sekarang ini Indonesia sedang mengalami "Krisis Kemanusiaan" dalam bahasa Antropologi bukan krisis politik, hukum atau ekonomi. Hakekatnya adalah krisis akhlak. Imam al-Ghozali menjelaskan akhlak dengan beberapa tingkatan. Tingkatan pertama (paling rendah) adalah selalu merasa dilihat Allah. Sampai disini belum muncul akhlakul karimah. Barulah ketika merasa melihat Allah (tingkatan kedua) akan muncul akhlak tersebut dan tingkatan yang paling tinggi takkala merasa bersatu dengan Allah, seseorang akan memiliki akhlak yang paling tinggi.
Dzikir Jahar dan dzikir Khofi kita lakukan dalam upaya untuk selalu mengingat Allah yang merupakan sebuah latihan untuk memunculkan akhlakul karimah karena selalu merasa dilihat Allah. Juga dengan berpuasa karena hal ini merupakan ibadah yang merupakan usaha untuk mencontoh sifat Tuhan seperti tidak makan dan minum, bersetubuh karena Allahpun tidak makan dan minum dan tidak beranak.
Source :http://www.suryalay.org

Selengkapnya >>

Kamis, Februari 14, 2008

Menginternalisasikan Sikap Ihsan

Jika kamu sendirian, maka jagalah hatimu. Jika kamu di tengah orang-orang, maka jagalah lisanmu. Jika kamu dihadapan meja makan, maka jagalah perutmu. Jika kamu di jalanan, maka jagalah matamu. Sebab Allah melihatmu.

Seorang saleh dari kalangan thabi'in, Sahal bin Abdullah Tasatturi menceritakan salah satu pengalaman penting dalam hidupnya. Saat berusia tiga tahun, ia melihat pamannya Muhammad bin Suwar melaksanakan shalat. Setelah selesai, sang paman bertanya, "Tidakkah engkau berdzikir kepada Allah yang menciptakanmu?" Sahal balik bertanya, "Bagaimana caranya?"Muhammad bin Suwar kemudian menjelaskan, "Katakanlah dengan hatimu: 'Allah bersamaku, Allah melihatku, Allah menyaksikanku.' Katakan hal itu sebanyak tiga kali tanpa menggerakkan lisan, ketika engkau hendak tidur."

Ia kemudian melaksanakan nasihat itu selama beberapa malam. Setelah itu, Sahal memberitahukannya kepada Muhammad bin Suwar. "Lakukan hal itu tujuh kali dalam satu malam", pinta pamannya kembali. Nasihat itu pun dijalankan Sahal dengan sungguh-sungguh. Pamannya kemudian memintanya menambah dzikir tersebut menjadi sebelas kali. "Saat saya melakukan hal itu selama satu tahun lamanya, pamanku berkata, 'Hapalkan apa yang telah aku ajarkan dan lakukanlah itu selalu sampai engkau masuk ke liang kubur. Kata-kata itu akan bermanfaat bagimu di dunia dan akhirat. Wahai Sahal barangsiapa merasakan Allah bersamanya, Allah melihatnya dan Allah menyaksikannya, apakah ia akan melakukan maksiat kepada-Nya?'"

Apa yang diajarkan Muhammad bin Suwar kepada Sahal Tasatturi, keponakannya, terbilang sederhana. Yaitu menggunakan metode pengulangan (repetitive). Menyebutkan suatu hal secara berulang-ulang, melalui lisan, pikiran dan hati sekaligus, akan menjadikan kalimat-kalimat tersebut tertanam kuat di alam bawah sadar. Bila terus diulang dalam jangka waktu lama maknanya akan mendarah daging dan akhirnya menjadi kekuatan dahsyat yang akan mengendalikan tingkah laku. Para ahli menyebutnya sebagai repetitive magic power.

Dalam "teori otak", bila sebuah informasi diulang-ulang maka pertautan antar sel-sel (neuron) di otak akan semakin kuat. Sel-sel syaraf yang semakin banyak dan kuat, akan memperkuat pengetahuan yang dimiliki seseorang. Kekuatan pengetahuan itu terletak pada keluasan wawasan dan kebijaksaaan yang semakin kuat dan meningkat. Seseorang yang ber-mujahadah (bersungguh-sungguh) sejak masa mudanya, untuk menguasai sebuah ilmu atau perbuatan, biasanya akan memiliki kebijaksanaan dan keyakinan diri yang kuat pada masa tuanya. Inilah yang terjadi pada Sahal Tasatturi. Ia terkenal sebagai seorang sosok yang sangat zuhud dan sangat takut kepada Allah.

Mengingat nama Allah (dzikrullah), adalah sarana efektif untuk menjernihkan hati. Andai dilakukan secara istikamah akan menjadikan seorang hamba selalu merasa ditatap oleh Al-Khaliq. Inilah yang terpenting, sebagai esensi keimanan dan puncak kecintaan seorang hamba kepada Allah. Bukankah hal yang paling berkesan adalah hal yang paling diingat? Tidak ada yang paling diingat oleh seorang pecinta, selain yang dicintainya. Dan tahukah bahwa mencintai dan dicintai Allah adalah anugerah terbesar bagi seorang Muslim. Kisah-kisah legendaris dari para sufi besar, seperti Al-Ghazali, Fudhail bin Iyadh, Ibrahim bin Adham, Junaid Al-Baghdadi ataupun Rabi'ah Al-Adawiyah banyak menginspirasikan hal tersebut.

Rasulullah SAW pun pernah bertanya kepada para sahabat, "Maukah kuberitahukan kepada kalian tentang amalan yang paling baik, paling suci dalam pandangan Tuhan kalian, mengangkat tinggi derajat orang-orang yang mengamalkannya dan tak kalah bernilai daripada menafkahkan emas dan perak, bahkan tidak kalah utama dibanding bertemu dengan musuh di medan perang kemudian kalian saling berperang dan mati syahid?" Mereka menjawab, "Tentu, wahai Rasulullah! Kami sangat ingin diberi tahu". Rasulullah menjawab, "Berdzikirlah kepada Allah." (HR Tirmidzi, Ahmad dan Hakim).

Dalam konteks hubungan dengan Allah, zikir yang intens dilakukan akan melahirkan sikap ihsan. Menurut Rasulullah SAW ihsan adalah menyembah Allah seakan-akan kita melihat-Nya. Jika kita tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihat kita (HR Muslim).

Saat seseorang sudah ihsan, dalam arti selalu merasa dilihat Allah, maka dalam kondisi apapun ia akan malu bermaksiat kepada Allah. Lebih jauh, ia pun akan berusaha melakukan yang terbaik untuk Tuhannya. Tak masalah apakah itu dalam kesendirian atau di tengah banyak orang. Saat berada dalam kesendirian, ia tetap merasa ramai. Betapa tidak, Allah senantiasa hadir dan dekat dengan dirinya. Sebaliknya, saat berada dalam hiruk pikuk keramaian, ia justru merasa "sepi". Sebab pandangan Allah tidak pernah luput darinya.

Kisah anak gembala dengan Umar bin Khathab adalah gambaran indah tentang kekuatan ihsan. Saat itu Umar membujuk si anak gembala untuk menjual satu dari ratusan kambing milik majikannya yang ia gembalakan. Apa yang dikatakan anak gembala tersebut, "Fa'ainallah? Kalau begitu di manakah Allah? Saya bisa membohongi majikan saya, namun saya tidak mungkin membohongi Allah. Dia selalu melihat apa yang saya lakukan!". Demikian luar biasa orang-orang yang sadar bahwa setiap gerak langkahnya merasa ditatap dan diperhatikan Allah.

Ada sebuah pesan yang layak kita renungkan, "Jika kamu sendirian, maka jagalah hatimu. Jika kamu di tengah orang-orang, maka jagalah lisanmu. Jika kamu dihadapan meja makan, maka jagalah perutmu. Jika kamu di jalanan, maka jagalah matamu. Sebab Allah melihatmu." Wallaahu a'lam.
Source: http://qalbu.net

Selengkapnya >>

Jumat, Februari 01, 2008

Hubungan Jin dan Manusia

Source : http://qalbu.net/
Jin ditundukkan untuk Nabi Sulaiman a.s.
"Sulaiman berkata: 'Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kekuasaan yang tidak akan pernah dimiliki oleh seorang juapun sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pemberi'.
Maka Kami tundukkan kepada Sulaiman angin yang berhembus mengikuti kehendaknya,
juga setan-setan yang ahli membuat bangunan dan menyelam,
serta setan-setan lain yang terbelenggu.
Inilah anugerah Kami, maka berikanlah (kepada orang lain) atau tahanlah (untuk dirimu sendiri) dengan tiada pertanggungan jawab.
Dan sesungguhnya Sulaiman mempunyai kedudukan yang dekat dengan Kami, juga tempat kembali yang baik”.
(QS. Shâd 38:35-40)“Dan Kami (tundukkan) bagi Sulaiman angin yang perjalanannya di waktu pagi sama dengan sebulan dan perjalanannya di waktu sore juga sama dengan sebulan. Kami alirkan pula cairan tembaga baginya, juga sebahagian dari para jin yang bekerja di hadapannya dengan izin Tuhannya. Siapa yang menyimpang di antara mereka dari perintah Kami, Kami rasakan padanya azab berupa api yang menyala-nyala.
Para jin itu membuat apa yang dikehendaki Sulaiman, berupa gedung-gedung tinggi, patung-patung, dan piring-piring yang besarnya seperti kolam, serta periuk yang tetap (berada di atas tungku). Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur, dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur.
Maka tatkala telah Kami tetapkan kematian bagi Sulaiman, tak ada yang menunjukkan pada mereka kematiannya itu, sampai kemudian rayap-rayap tanah menggerogoti tongkatnya. Tatkala ia tersungkur, tersadarlah para jin itu bahwa kalau sekiranya mereka mengetahui yang ghaib tentulah mereka tidak akan terus dalam siksa yang menghinakan”.
(QS. Saba’ 34:12-14)

Resiko bekerja sama dengan Jin
“Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan”.
(QS. Al-Jin 72:6)

Selengkapnya >>