Minggu, Desember 14, 2008

Senang Menerima Cobaan Dunia

Saudaraku, segala kemurahan (rukhsah) yang datang dari Allah dan rasul-Nya harus kalian ambil. Dalam sebuah riwayat dinyatakan bahwa Allah menyukai bila segala kemurahannya dipergunakan, sebagaimana halnya Dia menyenangi segala ketentuan pastinya (azimah) dilaksanakan.
Sejatinya kalian harus senang dengan setiap kemudahan yang Allah berikan. Ada riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah saw. Sangat menyukai urusan-urusan yang ringan dan mudah. Oleh karenanya, kalian jangan hengkang dari setiap urusan yang baik. Jika ada musibah, kalian jangan menentangnya, itu semua bukan kehendak kita.
Musibah: Bentuk perhatian Allah pada hamba-Nya
Apabila ditimpa ujian dan cobaan dari Allah Swt, kalian harus menghadapinya dengan penuh kesabaran. Meskipun pahit, kalian harus menyadarinya bahwa itu semua adalah bentuk perhatian Allah pada hamba-Nya.
Dalam menerima kseulitan kalian jangan mengeluhkannya. Hal itu dapat menyurutkan kesabaran. Perlu disadari kesulitan itu merupakan salah satu bentuk perhatian Allah pada hambanya. Oleh karenanya kalian harus menjauhkan diri dari sikap mengeluh dan tidak menerima atas ketentuan Allah Swt. Dalam sebuah hadits qudsi, Allah Swt berfirman, “siapa yang tidak rela dengan ketentua- Ku dan tidak sabar atas musibah_Ku, maka ia dipersilahkan untuk mencari tuhan selain Aku.”. dalam hadits Qudsi lainya, Allah Swt berfirman, “Siapa yang rela dengan hukum dan ketentunku, maka ia akan mendapat keridhaan-Ku. Jika ia menemui-ku, Aku akan meridhainya. Akan tetapi, siapa yang tidak terima dengan hukum dan ketentuanku , maka ia layak mendapatkan kemaran-Ku. jika ia menemui-Ku, Aku akan memarahinya.”

Musibah seabagai Penghapus Dosa
Musibah itu merupakan salah satu bentuk perhatian Allah atas hamba-hambanya. Oleh karenanya kalian jangan bersedih menerimanya. Ketahuilah kebahagian itu terletak pada musibah yang terjadi di dunia ini, itu semua merupakan investasi bagi orang-orang yang sabar. Dengannya, dosa-dosa yang di perbuat dapat terhapus.
Dalam sebuah riwayat seorang ulama berkata “ orang tidak senang dalam menghadapi musibah karena tidak mengharapkan dosanya terhapus, maka malaikat berkata, ‘semoga penyakitnya tidak kunjung sembuh.”
Pilhan Allah lebih baik daripada pilihan Hamba-Nya
Orang yang menyakini adanya kebaikan dalam pilihan Allah, ia pasti akan senang dalam menerima segala musibah yang menimpanya. Ia terlihat enteng menghadapinya, karena kebahagian akan segera menyonsong nya. Orang merasa diperhatiakan oleh Allah, ia akan gembira dalam menerima segala macam kesulitan. Dengan bersikap seperti itu, ia telah menghapus dosa-dosa (kecil) yang diperbuatnya. Allah pun akan memberikan pahala yang berlipat ganda padanya. Di akhirat nanti, dia akan bahagia selama-lamanya . semoga Allah meridhai kita dan menjadikan kita termasuk orang-orang berbahagia.
Sederhan Penuh Berkah
Al-Harits al-Muhasibi
Pustaka islam klasik. Serambi

Selengkapnya >>

Sabtu, Mei 24, 2008

Tawhid

Asal Usul Kata

Tawhid berasal dari kata wahid (satu), lalu wahhada (men-satu-kan), menjadi tawhid (pen-satu-an). Kita lebih mudah memahaminya sebagai peng-esa-an, atau pe-nunggal-an. Penyatuan adalah mengambil seluruhnya lalu dijadikan satu sekaligus. Sedangkan pensatuan memisahkan yang satu dari yang lainnya, hanya menerima atau mengakui yang satu dan menyingkirkan yang lainnya. Dalam ilmu teologi tawhid bermakna meyakini/mengakui hanya satu Tuhan, tidak mengenal Tuhan yang majemuk; baik yang berbilang menjadi dua, tiga, atau empat; maupun Tuhan yang bersekutu, misalnya tiga Tuhan menjadi satu. Tawhid adalah monoteisme murni.

Ilah (ilahun) terjemahan teknisnya berarti Tuhan, God (Inggris), Theos (Yunani). Secara semantik istilah Ilahun dalam bahasa Arab berasal dari kata Laha dan Aliha (lihat buku Al-Ishthilahat al-arba`ah fi al-Qur’an, Abul A`la al-Mawdudi).

Laha artinya mengabdi, melayani, meladeni dan memperturutkan. Ilahun adalah bentuk pasif dari Laha, artinya: yang diabdi, yang dilayani, yang diladeni, yang diperturutkan.

Aliha artinya mencintai, merindui, mengharap, mendamba, menginginkan, mendekatkan diri. Ilahun (bentuk pasif Aliha) berarti: yang dicintai, yang dirindui, yang diharap, yang didamba, yang diinginkan, yang didekati.

Laa Ilaaha adalah prinsip peniadaan atau penafian, maknanya: tiada yang diabdi, tiada yang dilayani, tiada yang diladeni, tiada yang diperturutkan, tiada yang dicintai, tiada yang dirindui, tiada yang diharap, tiada yang didamba, tiada yang diinginkan, tiada yang didekati.

Illallah adalah prinsip pengecualian sekaligus penegasan sebagai ‘hanya yang satu-satunya’ (the only). Tiada yang diabdi, dilayani, dicintai, didamba diharap, dijadikan tujuan dan tempat bergantung, kecuali Allah.

Kalimat Tawhid Membentuk Sebuah Kerpribadian.

Ketika seseorang mengucapkan kata Laa Ilaaha artinya dia membebaskan dirinya dari segala bentuk ketergantungan, dari segala bentuk pengejaran, dari segala bentuk keinginan, dari segala bentuk pengabdian dan kecintaan kepada apapun. Lalu dengan kalimat Illallaah dia menegaskan, mengokohkan dan menguatkan bahwa segala bentuk ketergantungan, pengejaran, keinginan, pengabdian, dan segala bentuk kecintaan diarahkan hanya untuk Allah semata.

Kalimat Tawhid dapat menimbulkan efek individual, yaitu membentuk sebuah kepribadian dengan jiwa yang bebas dan merdeka dari segala bentuk ketergantungan dan pengabdian kecuali kepada Allah. Dengan tertanamkan tawhid akan terjadi proses pembebasan dan pemerdekaan pada diri seseorang. Ini adalah kekuatan dahsyat. Bukan hal yang mudah membentuk jiwa bebas dan merdeka. Banyak orang yang terdidik pandai tapi tidak kreatif karena gagal membebaskan dirinya dari belenggu prasangka dan ketakutan. Banyak politisi berkuasa besar tapi gagal membebaskan dirinya dari keserakahan dan kezhaliman. Apalagi orang yang miskin dan tertindas, terbelenggu lahiriahnya, terbelenggu pula jiwanya oleh berbagai ketakutan dan angan-angan.

Selain mempunyai efek individual kalimat Tawhid juga mempunyai efek sosial, yaitu membentuk jiwa yang egaliter. Orang yang bertawhid sadar tidak akan mau merendahkan diri di hadapan orang lain, sekaligus juga tidak mau merendahkan orang lain di hadapan dirinya. Dia berusaha membebaskan dan memerdekakan orang lain dari segala bentuk peng-ilah-an kepada selain Allah. Dia tidak mau memperbudak orang lain, tidak menaklukan dan tidak pula menguasai orang lain. Sebagaimana hanya Allah yang boleh menjadi ilah bagi dirinya, maka bagi orang lain pun hanya Allah yang boleh di-ilah-kan. Orang yang bertawhid tidak berhasrat mengkondisikan orang lain untuk takluk dan memper-ilah dirinya, tidak mengizinkan dirinya disembah oleh orang lain.

Pembentukan Kalimat Tawhid dalam Diri.

Dalam kehidupan ini ada sesuatu yang bisa kita pahami dengan pendekatan akal, yaitu melalui proses fikir, rasional yang dapat dimengerti. Tapi ada juga yang tidak dapat dipahami secara rasional, yaitu melalui proses dzikir, misalnya bagaimana bisa menghayati dan membentuk sebuah refleks dalam dirinya dengan pengucapan Kalimat Tawhid itu.

Proses dzikir itulah yang akan membentuk suatu kesadaran iman berupa pengakuan akan kebesaran, kehebatan dan kesucian Allah. Kalimat Tawhid itu tidak hanya dimengerti, tapi juga harus dihayati dan dirasakan dan itu harus melalui praktek atau riyadhah yang sungguh-sungguh dan berulang-ulang.

“Dan sembahlah (beribadahlah) Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini”.
(QS. Al-Hijr, 15:99)

Dalam dunia tasawuf, ada praktek-praktek dzikir yang diajarkan melalui perkumpulan-perkumpulan tarekat sebagai bentuk riyadhah, bagaimana dapat menancapkan Kalimat Tawhid itu dalam dirinya sampai menyentuh qalbunya.

Kadang-kadang seorang murid yang mempraktekkan dzikir secara sungguh-sungguh dan intensif berada dalam konsentrasi penuh dan kesadaran yang memuncak penuh terhadap Allah ( mabuk Allah), hingga ekspresinya terlihat seperti orang yang lupa diri. Padahal dia tidak lupa diri, justru dia sadar sedang berhubungan dengan Allah dan dia merdeka dari yang selain Allah.

Ada juga yang dalam berdzikir menggerak-gerakan kepalanya. Hal itu merupakan sebuah upaya untuk menangkap makna kalimat dzikir yang diucapkan bahkan bisa juga kalimat dzikir itu membentuk gerakan-gerakan secara reflek. Karena jika seseorang semakin peka, dia dapat menangkap pesan-pesan Allah dengan baik. Sebagaimana firman Allah :

"Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah, gemetarlah qalbu mereka…"
(QS. Al-Anfaal, 8:2)

Getaran qalbunya itu akan menggetarkan tubuhnya melalui gerakan-gerakan.

Pembentukan Kalimat Tawhid dalam Kehidupan Sosial.

Betapapun prinsip Tawhid itu Allah ajarkan pada kita, tetapi bukan berarti setelah ingat Allah lalu tanggung jawab terhadap lingkungan diabaikan, sebab ketika seseorang melepaskan pengabdian, penghambaan dan pengejaran terhadap lingkungan, tanggung jawab /fungsi terhadap lingkungan sosialnya harus tetap terlaksana.
Ketika dia hanya tunduk, patuh dan pasrah pada Allah saja, dia menerima konskuensi perintah dari Allah. Allah berfirman:

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”
(QS. Adz Dzaariyaat, 51:56)

Salah satu bentuk Ibadah manusia dalam menjalankan fungsi kekhalifahannya, yaitu membuat kemakmuran di muka bumi.
Firman Allah:

“…Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya…"
(QS. Huud, 11:61)

Dalam diri seorang yang bertawhid, dia dapat memutuskan dari kecintaan dan pengejaran terhadap lingkungannya tetapi dia tidak putus dari fungsi dan tanggung jawab lingkungan sosialnya. Jika dia berhubungan dengan lingkungannya, bukan dalam rangka kecintaan pada dunia tetapi dalam rangka melaksanakan tugas yang diperintahkan Allah.

Dengan demikian bagi orang yang bertawhid, dia mampu mengembangkan dzikir dan fikirnya dalam menjalani kehidupannya di dunia sebagai konsekuensi fungsi kekhalifahannya. Dia selalu ingat Allah dalam hubungan ibadah vertikal kepada-Nya juga dalam ibadah horizontal, terhadap lingkungan sosialnya. Setiap aktifitas sebagai hasil dari dzikir dan fikirnya akan menimbulkan kesan kagum akan kesempurnaan alam dan itu akan membawanya pada kesadaran betapa sempurnanya yang menciptakan alam, yaitu Allah swt. maka dia pun berdo’a:

“Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka“
(QS. Ali Imran, 3:191)

By: Wahfiudin SE, MBA

Selengkapnya >>

Senin, April 07, 2008

Tarekat Qadiriyyah Naqsabandiyyah (TQN)

TQN merupakan gabungan dua tarekat yang terkenal dalam dunia islam yaitu tarekat Qadiriyyah dan Naqsabandiyyah. Keduanya adalah tarekat besar di dunia. Tarekat Qadiriyyah didirikan oleh Syekh Abdul Qodir Jailani (W 561 H /1166 M), sedang tarekat Naqsabandiyyah oleh Syekh Baha'uddin Naqsbandiyyah al Bukhary (W 791 H/1389 M).

Kedua tarekat ini berbeda dan masing-masing mempunyai keunikan. Penggabungan keduanya ini didasari oleh berbagai elemen ajarannya dan pengalaman dalam sejarah perkembangannya. Tarekat Qadiriyyah Naqsabandiyyah (TQN) adalah tarekat terbesar yang berkembang di Indonesia terutama di Pulau Jawa dan salah satu pusat penyebarannya yaitu di Pondok Pesantren Suryalaya, Jawa Barat.

Kini anggotanya berjuta orang, tersebar di seluru pelosok tanah air dan di beberapa negara ASEAN seperti Malaysia, Singapura dan Brunei DarussalamAsal Usul TQN



Menurut Dhofier, Tarekat Qadiriyyah Naqsabandiyyah yang terkenal di Jawa itu didirikan oleh Syekh Ahmad Khatib Sambas, yang menurut Snouck Hourgrounje, adalah seorang tokoh tarekat Qadiriyyah yang berpusat di Mekah pada abad ke-19 M, murid-murid Syekh Ahmad Khatib Sambas yang berasal dari Jawa dan Madura setelah pulang ke tanah air menjadi penyebar Tarekat Qadiriyyah Naqsabandiyyah (TQN) yang sampai sekarang terus berkembang pesat. Menelusuri sejarah perkembangan Tarekat Qadiriyyah Naqsabandiyyah di Dunia Islam merupakan suatu pekerjaan yang tidak mungkin karena tidak dikenalnya jenis tarekat tersebut. Namun, kehadiran jenis tarekat tersebut di Indonesia tentu tidak terlepas dari sejarah perkembangan kedua tarekat yang digabungkan itu, yaitu Tarekat Qadiriyyah dan Tarekat Naqsabandiyyah. Kedua Tarekat tersebut merupakan dua tarekat besar di Dunia Islam.

Tarekat Qadiriyyah didirikan oleh Syekh 'Abdul al-Qadir al-Jaelani (W 561 H/1166 M) dan Tarekat Naqsabandiyyah didirikan oleh Syekh Baha'uddin al-Naqsyabandi al-Bukhary (W 791 H/1389 M) kedua tarekat tersebut menyebar ke berbagai negeri Islam sampai ke Arabia dan mempunyai pusat penyebarannya di kota Mekkah, tanah suci umat Islam. Dari sinilah berpangkal terjadinya penggabungan kedua tarekat tersebut sebagaimana yang dikenal di Indonesia. Dengan pemaparan ini, diharapkan bisa diketahui kebesaran kedua tarekat tersebut dalam sejarah perkembangan tasawuf Islam dan perannya yang tidak kecil dalam pelbagai bidang di Dunia Islam. Dengan itu dapat dipahami betapa arti kehadiran tarekat yang bernama Tarekat Qadiriyyah Naqsabandiyyah di Indonesia dan perannya yang besar dalam pembangunan nasional dewasa ini, terutama dalam pembangunan manusia seutuhnya. Source :http://aqabah.qalbu.net/?go=back

Selengkapnya >>

Selasa, Februari 19, 2008

Akhlak Yang Mulia

Oleh : Prof. Dr. Ahmad Tafsir, MA

Allah Swt. berfirman di dalam al-Quran : "Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam". (Q.S. al-Anbiyaa' : 107). Maksud dari ayat ini adalah kedatangan Muhammad yang membawa agama Islam kepada kita mestinya menjadi rahmat bagi seluruh alam. Ada Orang yang lebih pintar dari saya mengatakan bahwa seluruh alam maknanya seluruh manusia. Jadi kedatangan agama Islam itu harus menjadi rahmat bagi seluruh manusia.Tidak hanya bagi umat muslim saja, bagi penjahat, bahkan bagi orang-orang kafir. Disinilah yang perlu kita perhatikan baik-baik.

Beberapa arti rahmat diantaranya : anugerah, faedah, manfaat, guna. Sehingga sampailah kita pada kesimpulan bahwa agama Islam diturunkan oleh Allah kepada kita karena ada manfaatnya, tidak menyusahkan malah sebaliknya memudahkan (mengenakkan) kita. Persoalan selanjutnya adalah bagaimana orang-orang kafir, pencuri atau orang yang kecurian mendapat guna juga dari Islam. Sebagai contoh orang yang kecurian diharuskan sabar oleh Islam dalam hal ini. Dalam Islam itu kita mengenal Rukun Islam yang terdiri dari membaca dua kalimah syahadat, menunaikan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa dan menunaikan ibadah haji. Jika kita membaca syahadat apakah orang lain mendapatkan manfaatnya atau berguna baginya. Jawabannya "tidak", berarti ayat di atas belum terbukti. Kemudian setiap hari kita shalat, apakah yang didapatkan orang lain dari shalat itu. "Pahala" hanya untuk kita yang melaksanakannya, "tidak" untuk orang lain. Zakat ada manfaatnya, tapi "tidak" untuk orang kafir, apalagi puasa, kita merasakan lapar sementara orang lain tidak mendapatkan apapun. Dan yang terakhir adalah haji, sama juga. Paling-paling oleh-oleh. Itupun hanya untuk orang-orang tertentu saja.

Makanya, banyak yang "tidak senang" kepada Islam karena tidak ada gunanya, menurut sedikit uraian saya tadi. Tapi kita tidak berhenti sampai disini karena Islam itu harus berguna bagi siapa saja menurut surat al-Anbiyaa' : 107 di atas. Islam seharusnya mulia (bersinar) tetapi malah sebaliknya terkutuk akibat "ulah" orang-orang tertentu seperti "Teroris". (begitu orang Barat menyebutnya). Karena itu kita kembali lagi kepada pembahasan di atas bahwa, buah dari pelaksanaan "5 Rukun Islam" ditambah dengan yang lainnya adalah akhlakul karimah. Akhlakul karimah inilah yang mampu memberikan manfaat, memberikan guna atau memberikan faedah untuk semua orang. Sebagai contoh, jika di sebuah kampung yang penduduknya berakhlak baik meskipun orang-orangnya lupa menutup kunci pintu tapi mereka merasa aman karena tidak ada barang yang kehilangan atau dicuri. Tetapi jika sebaliknya (akhlak mereka jelek) maka akan membuat sulit, susah, bahkan kerugian bagi orang lain.

Islam sebagai rahmat dan Akhlakul karimah ini ibarat pohon dengan buahnya. Kalau kita ambil bagian dari pohon tersebut misalkan akarnya, maka pohon itu akan mati. Berbeda jika kita mengambil buahnya, maka pohon tersebut akan tetap berbuah dan bermanfaat terus bagi orang lain. Akhlakul karimah itulah buah dari pengamalan Islam yang benar. Dengan akhlakul karimah ini jangan sampai kita "bertengkar" hanya karena perbedaan dalam masalah ibadah (khilafiyah) misalkan shalatnya tidak memakai "Usholli". Akhlak yang mulia inilah yang akan menentramkan dunia. Sekarang ini Indonesia sedang mengalami "Krisis Kemanusiaan" dalam bahasa Antropologi bukan krisis politik, hukum atau ekonomi. Hakekatnya adalah krisis akhlak. Imam al-Ghozali menjelaskan akhlak dengan beberapa tingkatan. Tingkatan pertama (paling rendah) adalah selalu merasa dilihat Allah. Sampai disini belum muncul akhlakul karimah. Barulah ketika merasa melihat Allah (tingkatan kedua) akan muncul akhlak tersebut dan tingkatan yang paling tinggi takkala merasa bersatu dengan Allah, seseorang akan memiliki akhlak yang paling tinggi.
Dzikir Jahar dan dzikir Khofi kita lakukan dalam upaya untuk selalu mengingat Allah yang merupakan sebuah latihan untuk memunculkan akhlakul karimah karena selalu merasa dilihat Allah. Juga dengan berpuasa karena hal ini merupakan ibadah yang merupakan usaha untuk mencontoh sifat Tuhan seperti tidak makan dan minum, bersetubuh karena Allahpun tidak makan dan minum dan tidak beranak.
Source :http://www.suryalay.org

Selengkapnya >>

Kamis, Februari 14, 2008

Menginternalisasikan Sikap Ihsan

Jika kamu sendirian, maka jagalah hatimu. Jika kamu di tengah orang-orang, maka jagalah lisanmu. Jika kamu dihadapan meja makan, maka jagalah perutmu. Jika kamu di jalanan, maka jagalah matamu. Sebab Allah melihatmu.

Seorang saleh dari kalangan thabi'in, Sahal bin Abdullah Tasatturi menceritakan salah satu pengalaman penting dalam hidupnya. Saat berusia tiga tahun, ia melihat pamannya Muhammad bin Suwar melaksanakan shalat. Setelah selesai, sang paman bertanya, "Tidakkah engkau berdzikir kepada Allah yang menciptakanmu?" Sahal balik bertanya, "Bagaimana caranya?"Muhammad bin Suwar kemudian menjelaskan, "Katakanlah dengan hatimu: 'Allah bersamaku, Allah melihatku, Allah menyaksikanku.' Katakan hal itu sebanyak tiga kali tanpa menggerakkan lisan, ketika engkau hendak tidur."

Ia kemudian melaksanakan nasihat itu selama beberapa malam. Setelah itu, Sahal memberitahukannya kepada Muhammad bin Suwar. "Lakukan hal itu tujuh kali dalam satu malam", pinta pamannya kembali. Nasihat itu pun dijalankan Sahal dengan sungguh-sungguh. Pamannya kemudian memintanya menambah dzikir tersebut menjadi sebelas kali. "Saat saya melakukan hal itu selama satu tahun lamanya, pamanku berkata, 'Hapalkan apa yang telah aku ajarkan dan lakukanlah itu selalu sampai engkau masuk ke liang kubur. Kata-kata itu akan bermanfaat bagimu di dunia dan akhirat. Wahai Sahal barangsiapa merasakan Allah bersamanya, Allah melihatnya dan Allah menyaksikannya, apakah ia akan melakukan maksiat kepada-Nya?'"

Apa yang diajarkan Muhammad bin Suwar kepada Sahal Tasatturi, keponakannya, terbilang sederhana. Yaitu menggunakan metode pengulangan (repetitive). Menyebutkan suatu hal secara berulang-ulang, melalui lisan, pikiran dan hati sekaligus, akan menjadikan kalimat-kalimat tersebut tertanam kuat di alam bawah sadar. Bila terus diulang dalam jangka waktu lama maknanya akan mendarah daging dan akhirnya menjadi kekuatan dahsyat yang akan mengendalikan tingkah laku. Para ahli menyebutnya sebagai repetitive magic power.

Dalam "teori otak", bila sebuah informasi diulang-ulang maka pertautan antar sel-sel (neuron) di otak akan semakin kuat. Sel-sel syaraf yang semakin banyak dan kuat, akan memperkuat pengetahuan yang dimiliki seseorang. Kekuatan pengetahuan itu terletak pada keluasan wawasan dan kebijaksaaan yang semakin kuat dan meningkat. Seseorang yang ber-mujahadah (bersungguh-sungguh) sejak masa mudanya, untuk menguasai sebuah ilmu atau perbuatan, biasanya akan memiliki kebijaksanaan dan keyakinan diri yang kuat pada masa tuanya. Inilah yang terjadi pada Sahal Tasatturi. Ia terkenal sebagai seorang sosok yang sangat zuhud dan sangat takut kepada Allah.

Mengingat nama Allah (dzikrullah), adalah sarana efektif untuk menjernihkan hati. Andai dilakukan secara istikamah akan menjadikan seorang hamba selalu merasa ditatap oleh Al-Khaliq. Inilah yang terpenting, sebagai esensi keimanan dan puncak kecintaan seorang hamba kepada Allah. Bukankah hal yang paling berkesan adalah hal yang paling diingat? Tidak ada yang paling diingat oleh seorang pecinta, selain yang dicintainya. Dan tahukah bahwa mencintai dan dicintai Allah adalah anugerah terbesar bagi seorang Muslim. Kisah-kisah legendaris dari para sufi besar, seperti Al-Ghazali, Fudhail bin Iyadh, Ibrahim bin Adham, Junaid Al-Baghdadi ataupun Rabi'ah Al-Adawiyah banyak menginspirasikan hal tersebut.

Rasulullah SAW pun pernah bertanya kepada para sahabat, "Maukah kuberitahukan kepada kalian tentang amalan yang paling baik, paling suci dalam pandangan Tuhan kalian, mengangkat tinggi derajat orang-orang yang mengamalkannya dan tak kalah bernilai daripada menafkahkan emas dan perak, bahkan tidak kalah utama dibanding bertemu dengan musuh di medan perang kemudian kalian saling berperang dan mati syahid?" Mereka menjawab, "Tentu, wahai Rasulullah! Kami sangat ingin diberi tahu". Rasulullah menjawab, "Berdzikirlah kepada Allah." (HR Tirmidzi, Ahmad dan Hakim).

Dalam konteks hubungan dengan Allah, zikir yang intens dilakukan akan melahirkan sikap ihsan. Menurut Rasulullah SAW ihsan adalah menyembah Allah seakan-akan kita melihat-Nya. Jika kita tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihat kita (HR Muslim).

Saat seseorang sudah ihsan, dalam arti selalu merasa dilihat Allah, maka dalam kondisi apapun ia akan malu bermaksiat kepada Allah. Lebih jauh, ia pun akan berusaha melakukan yang terbaik untuk Tuhannya. Tak masalah apakah itu dalam kesendirian atau di tengah banyak orang. Saat berada dalam kesendirian, ia tetap merasa ramai. Betapa tidak, Allah senantiasa hadir dan dekat dengan dirinya. Sebaliknya, saat berada dalam hiruk pikuk keramaian, ia justru merasa "sepi". Sebab pandangan Allah tidak pernah luput darinya.

Kisah anak gembala dengan Umar bin Khathab adalah gambaran indah tentang kekuatan ihsan. Saat itu Umar membujuk si anak gembala untuk menjual satu dari ratusan kambing milik majikannya yang ia gembalakan. Apa yang dikatakan anak gembala tersebut, "Fa'ainallah? Kalau begitu di manakah Allah? Saya bisa membohongi majikan saya, namun saya tidak mungkin membohongi Allah. Dia selalu melihat apa yang saya lakukan!". Demikian luar biasa orang-orang yang sadar bahwa setiap gerak langkahnya merasa ditatap dan diperhatikan Allah.

Ada sebuah pesan yang layak kita renungkan, "Jika kamu sendirian, maka jagalah hatimu. Jika kamu di tengah orang-orang, maka jagalah lisanmu. Jika kamu dihadapan meja makan, maka jagalah perutmu. Jika kamu di jalanan, maka jagalah matamu. Sebab Allah melihatmu." Wallaahu a'lam.
Source: http://qalbu.net

Selengkapnya >>

Jumat, Februari 01, 2008

Hubungan Jin dan Manusia

Source : http://qalbu.net/
Jin ditundukkan untuk Nabi Sulaiman a.s.
"Sulaiman berkata: 'Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kekuasaan yang tidak akan pernah dimiliki oleh seorang juapun sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pemberi'.
Maka Kami tundukkan kepada Sulaiman angin yang berhembus mengikuti kehendaknya,
juga setan-setan yang ahli membuat bangunan dan menyelam,
serta setan-setan lain yang terbelenggu.
Inilah anugerah Kami, maka berikanlah (kepada orang lain) atau tahanlah (untuk dirimu sendiri) dengan tiada pertanggungan jawab.
Dan sesungguhnya Sulaiman mempunyai kedudukan yang dekat dengan Kami, juga tempat kembali yang baik”.
(QS. Shâd 38:35-40)“Dan Kami (tundukkan) bagi Sulaiman angin yang perjalanannya di waktu pagi sama dengan sebulan dan perjalanannya di waktu sore juga sama dengan sebulan. Kami alirkan pula cairan tembaga baginya, juga sebahagian dari para jin yang bekerja di hadapannya dengan izin Tuhannya. Siapa yang menyimpang di antara mereka dari perintah Kami, Kami rasakan padanya azab berupa api yang menyala-nyala.
Para jin itu membuat apa yang dikehendaki Sulaiman, berupa gedung-gedung tinggi, patung-patung, dan piring-piring yang besarnya seperti kolam, serta periuk yang tetap (berada di atas tungku). Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur, dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur.
Maka tatkala telah Kami tetapkan kematian bagi Sulaiman, tak ada yang menunjukkan pada mereka kematiannya itu, sampai kemudian rayap-rayap tanah menggerogoti tongkatnya. Tatkala ia tersungkur, tersadarlah para jin itu bahwa kalau sekiranya mereka mengetahui yang ghaib tentulah mereka tidak akan terus dalam siksa yang menghinakan”.
(QS. Saba’ 34:12-14)

Resiko bekerja sama dengan Jin
“Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan”.
(QS. Al-Jin 72:6)

Selengkapnya >>

Minggu, Januari 13, 2008

Definisi Tasawuf

Source :http://www.qalbu.net
Pandangan paling monumental tentang Tasawuf muncul dari Abul Qasim Al-Qusyairy an-Naisabury, seorang ulama sufi abad ke-4 hijriyah. Al-Qusyairy sebenarnya lebih menyimpulkan dari seluruh pandangan Ulama Sufi sebelumnya, sekaligus menepis bahwa Tasawuf atau Sufi muncul dari akar-akar historis, bahasa, intelektual dan filsafat di luar Islam.Dalam buku Ar-Risalatul Qusyairiyah ia menegaskan bahwa kesalahpahaman banyak orang terhadap tasawuf semata-mata karena ketidaktahuan mereka terhadap hakikat Tasawuf itu sendiri. Menurutnya Tasawuf merupakan bentuk amaliyah, ruh, rasa dan pekerti dalam Islam itu sendiri. Ruhnya adalah firman Allah swt:

* “Dan jiwa serta penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu dan sesungguhnya merugilah orang-orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams: 7-8)
* ”Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang membersihkan diri dan dia mendzikirkan nama Tuhannya lalu dia shalat.” (QS. Al-A’laa: 14-15)
* “Dan ingatlah Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang alpa” (QS. Al-A’raf: 205)
* “Dan bertqawalah kepada Allah; dan Allah mengajarimu (memberi ilmu); dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu” (QS. Al-Baqarah: 282)

Sabda Nabi saw:

* “Ihsan adalah hendaknya engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, maka apabila engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu”. (HR. Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud dan Nasa’i)
* Tasawuf pada prinsipnya bukanlah tambahan terhadap Al-Qur’an dan hadits, justru Tasawuf adalah implementasi dari sebuah kerangka agung Islam. Secara lebih rinci, Al-Qusyairy meyebutkan beberapa definisi dari para Sufi besar:
1. Muhammad al-Jurairy:
“Tasawuf berarti memasuki setiap akhlak yang mulia dan keluar dari setiap akhlak yang tercela.”
2. Al-Junaid al-Baghdady:
“Tasawuf artinya Allah mematikan dirimu dari dirimu dan menghidupkan dirimu bersama dengan-Nya.”
“Tasawuf adalah engkau berada semata-mata bersama Allah swt. Tanpa keterikatan dengan apa pun.”
“Tasawuf adalah perang tanpa kompromi.”
“Tasawuf adalah anggota dari satu keluarga yang tidak bisa dimasuki oleh orang-orang selain mereka.”
“Tasawuf adalah dzikir bersama, ekstase yang diserta sama’ dan tindakan yang didasari Sunnah Nabi.”
“Kaum Sufi seperti bumi, yang diinjak oleh orang saleh maupun pendosa; juga seperti mendung, yang memayungi segala yang ada; seperti air hujan, mengairi segala sesuatu.”
“ Jika engkau meliuhat Sufi menaruh kepedulian kepada penampilan lahiriyahnya, maka ketahuilah bahwa wujud batinnya rusak.”
3. Al-Husain bin Manshur al-Hallaj:
“Sufi adalah kesendirianku dengan Dzat, tak seorang pun menerimanya dan juga tidak menerima siapa pun.”
4. Abu Hamzah Al-Baghdady:
“Tanda Sufi yang benar adalah dia menjadi miskin setelah kaya, hina setelah mulia, bersembunyi setelah terkenal. Sedang tanda Sufi yang palsu adalah dia menjadi kaya setelah miskin, menjadi obyek penghormatan tertinggi setelah mengalami kehinaan, menjadi masyhur setelah tersem, bunyi.”
5. Amr bin Utsman Al-Makky:
“Tasawuf adalah si hamba berbuat sesuai dengan apa yang paling baik saat itu.”
6. Mohammad bin Ali al-Qashshab:
“Tasawuf adalah akhlak mulia, dari orang yang mulia di tengah-tengah kaum yang mulia.”
7. Samnun:
“Tasawuf berarti engkau tidak memiliki apa pun, tidak pula dimiliki apapun."
8. Ruwaim bin Ahmad:
“Tasawuf artinya menyerahkan diri kepada Allah dalam setiap keadaan apa pun yang dikehendaki-Nya.”
“Tasawuf didasarkan pada tiga sifat: memeluk kemiskinan dan kefakiran, mencapai sifat hakikat dengan memberi, dengan mendahulukan kepentingan orang lain atas kepentingan diri sendiri dan meninggalkan sikap kontra dan memilih.”
9. Ma’ruf Al-Karkhy:
“Tasawuf artinya, memihak pada hakikat-hakikat dan memutuskan harapan dari semua yang ada pada makhluk”.
10. Hamdun al-Qashshsar:
“Bersahabatlah dengan para Sufi, karena mereka melihat dengan alasan-alasan untuk mermaafkan perbuatan-perbuatan yang tak baik dan bagi mereka perbuatan-perbuatan baik pun bukan suatu yang besar, bahklan mereka bukan menganggapmu besar karena mengerjakan kebaikan itu.”
11. Al-Kharraz:
“Mereka adalah kelompok manusia yang mengalami kelapangan jiwa yang mencampakkan segala milik mereka sampai mereka kehilangan segala-galanya. Mereka diseru oleh rahasia-rahasia yang lebih dekat di hatinya, ingatlah, menangislah kalian karena kami.”
12. Sahl bin Abdullah:
“Sufi adalah orang yang memandang darah dan hartanya tumpah secara gratis.”
13. Ahmad an-Nuury:
“Tanda orang Sufi adalah ia rela manakala tidak punya dan peduli orang lain ketika ada.”
14. Muhammad bin Ali Kattany:
“Tasawuf adalah akhlak yang baik, barangsiapa yang melebihimu dalam akhlak yang baik, berarti ia melebihimu dalam Tasawuf.”
15. Ahmad bin Muhammad ar-Rudzbary:
“Tasawuf adalah tinggal di pintu Sang Kekasih, sekali pun engklau diusir.”
“Tasawuf adalah Sucinya Taqarrub, setelah kotornya berjauhan denganya.”
16. Abu Bakr asy-Syibly:
“Tasawuf adalah duduk bersama Allah swt tanpa hasrat.”
“Sufi terpisah dari manusia dan bersambung dengan Allah swt sebagaimana difirmankan Allah swt, kepada Musa, 'Dan Aku telah memilihmu untuk Diri-Ku' (Thoha: 41) dan memisahkanmu dari yang lain. Kemudian Allah swt berfirman kepadanya, 'Engkau tak akan bisa melihat-Ku'.”
“Para Sufi adalah anak-anak di pangkuan Tuhan Yang Haq.”
“Tasawuf adalah kilat yang menyala dan Tasawuf terlindung dari memandang makhluk.”
“Sufi disebut Sufi karena adanya sesuatu yang membekas pada jiwa mereka. Jika bukan demikian halnya, niscaya tidak akan ada nama yang dilekatkan pada mereka.”
17. Al-Jurairy:
“Tasawuf berarti kesadaran atas keadaaan diri sendiri dan berpegang pada adab.”
18. Al-Muzayyin:
“Tasawuf adalah kepasrahan kepada Al-Haq.”
19. Askar an-Nakhsyaby:
“Orang Sufi tidaklah dikotori suatu apa pun, tetapi menyucikan segalanya.”
20. Dzun Nuun Al-Mishry:
“Kaum Sufi adalah mereka yang mengutamakan Allah swt. diatas segala-galanya dan yang diutamakan oleh Allah di atas segala makhluk yang ada.”
21. Muhammad al-Wasithy:
“Mula-mula para Sufi diberi isyarat, kemudian menjadi gerakan-gerakan dan sekarang tak ada sesuatu pun yang tinggal selain kesedihan.”
22. Abu Nashr as-Sarraj ath-Thusy:
“Aku bertanya kepada Ali al-Hushry, 'siapakah, yang menurutmu Sufi itu?' Lalu ia menjawab, 'Yang tidak di bawa bumi dan tidak dinaungi langit'. Dengan ucapannya menurut saya, ia merujuk kepada keleburan.”
23. Ahmad ibnul Jalla’:
“Kita tidak mengenal mereka melalui prasyarat ilmiyah, namun kita tahu bahwa mereka adalah orang-orang yang miskin, sama sekali tidak memiliki sarana-sarana duniawi. Mereka bersama Allah swt tanpa terikat pada suatu tempat tetapi Allah swt, tidak menghalanginya dari mengenal semua tempat. Karenanya disebut Sufi.”
24. Abu Ya’qub al-Madzabily:
“Tasawuf adalah keadaan dimana semua atribut kemanusiaan terhapus.”
25. Abul Hasan as-Sirwany:
“Sufi yang bersama ilham, bukan dengan wirid yang mehyertainya.”
26. Abu Ali Ad-Daqqaq:
“Yang terbaik untuk diucapkan tentang masalah ini adalah, 'Inilah jalan yang tidak cocok kecuali bagi kaum yang jiwanya telah digunakan Allah swt, untuk menyapu kotoran binatang'."
“Seandainya sang fakir tak punya apa-apa lagi kecuali hanya ruhnya dan ruhnya ditawarkannya pada anjing-anjing di pintu ini, niscaya tak seekor pun yang menaruh perhatian padanya.”
27. Abu Sahl ash-Sha’luki:
“Tasawuf adalah berpaling dari sikap menentang ketetapan Allah.”

Dari seluruh pandangan para Sufi itulah akhirnya Al-Qusayiry menyimpulkan bahwa Sufi dan Tasawuf memiliki terminologi tersendiri, sama sekali tidak berawal dari etimologi, karena standar gramatika Arab untuk akar kata tersebut gagal membuktikannya.

Alhasil, dari seluruh definisi itu, semuanya membuktikan adanya adab hubungan antara hamba dengan Allah swt dan hubungan antara hamba dengan sesamanya. Dengan kata lain, Tasawuf merupakan wujud cinta seorang hamba kepada Allah dan Rasul-Nya, pengakuan diri akan haknya sebagai hama dan haknya terhadap sesama di dalam amal kehidupan.

Selengkapnya >>